Hakikat (Wihdatul Wujud) Ibnu al Arabi al Hatimi : Sebuah Memorial

Oleh; Abdullah Muzakki

Dalam sejarah, Ibnu (al) Arabi (al Hatimi) merupakan sosok yang penuh kontroversial. Oleh sebagian ulama, beliau dituduh sebagai seorang kafir karena menganut ajaran pantheisme (wihdatul wujud) atau manunggaling kawula gusti.

Apabila kita menelaah kembali kitab-kitab turats Islam (kitab kuning), akan kita dapati bahwa kitab-kitab yang berisi pembelaan terhadap Ibnu Arabi sebagai muslim sejati ternyata tidak kalah, atau bahkan lebih banyak, jumlahnya daripada kitab-kitab yang berisi tuduhan kurang baik terhadap beliau.

Selain itu, kita juga akan bisa mendapati bahwa para ulama salaf yang membela Ibnu Arabi ternyata tidak hanya datang dari para ulama tasawuf, akan tetapi mereka juga datang dari para ulama hadits. Ulama tasawuf yang membela Ibnu Arabi sebagai salah satu imam kaum sufi, di antaranya Abdullah As’ad bin Ali al Yafi’iy dan Abdul Wahhab al Sya’rani. Sedangkan ulama hadits yang gigih melindungi Ibnu Arabi, di antaranya Ibnu al Hajar al Asqalani dan al Suyuthi.

Hanya saja, fenomena di atas akan sedikit berubah apabila perhatian kita alihkan kepada pengkaji-pengkaji kontemporer. Ibnu al Arabi dalam kacamata sebagian besar mereka ternyata lebih dikenal sebagai salah seorang ulama sufi penganut faham pantheisme (wihdatul wujud). Hal ini sendiri, menurut penulis, terjadi—setidaknya—dikarenakan kebanyakan dari mereka lebih banyak terpengaruh oleh komentar-komentar Dr. Afifi mengenai Ibnu Arabi.

Ketika memberikan pandangannya tentang Ibnu Arabi dalam Al Kitab a Tidzkâry Muhyiddin Ibnu Arabi, misalnya, Dr. Afifi menulis, “Dan Ibnu Arabi telah menyatakan persoalan wihdatul wujud ini dengan jelas dan berani tanpa bertele-tele dalam dua kitabnya; fushush al hikam dan al futuhat al makkiyah. Ibnu Arabi menyatakan: ‘maka Mahasucilah Dzat yang menampakkan sesuatu dan Ia merupakan (sesuatu) itu sendiri. Maka mataku tidak melihat kepada selain hadiratNya – dan telingaku tidak mendengar lawan sabdaNya. Dan tak ada alasan untuk mentakwili pernyataan-pernyataannya yang menunjukkan wihdatul wujud…”

Menurut penulis, kita sangat perlu mentakwili pernyataaan Ibnu Arabi di atas. Pernyataan Ibnu Arabi yang berbunyi, “Maka Mahasucilah Dzat yang menampakkan sesuatu dan Ia merupakan (sesuatu) itu sendiri.” bisa kita analogikan dengan sebuah pernyataan yang berbunyi,” maka sangat kelirulah seseorang yang menikahi perempuan dan ia adalah bapak kandungnya sendiri.”

Secara umum seseorang menikahi perempuan tidaklah keliru. Akan tetapi, secara khusus seseorang menikahi anak kandungnya adalah perbuatan yang sangat keliru. Jadi, orang yang keliru adalah seseorang yang menikahi anak kandungnya sendiri, bukannya seseorang yang menikahi perempuan secara umum.

Dalam pernyataan di atas, akan kurang tepat apabila kata  perempuan dipahami dalam arti yang umum. Sebaliknya, ketika dihubungkan dengan kata “maka sangat kelirulah seseorang” akan lebih baik dan tepat apabila kita memahami (mentakwili) kata perempuan tersebut secara khusus, dengan makna “anak kandung perempuan”.

Jadi, apabila kita memahami kata “sesuatu” dalam kalimat “sesuatu yang ditampakkan oleh yang Mahasuci” secara umum, yakni segala sesuatu yang ada di alam semesta, maka akan kurang tepat. Sebaliknya, akan lebih tepat apabila dipahami secara khusus;  maksud kata “sesuatu adalah asma-asma yang Mahasuci itu sendiri. Dan sangat maklum bahwa Ibnu Arabi adalah orang yang berpendapat bahwa Allah bertajalli dengan asma-Nya.

Selain itu, kita juga jangan melupakan bahwa dalam pernyataan tersebut, Ibnu Arabi lebih memilih kata adzhara (menampakkan), bukan khalaqa (menciptakan). Kata adzhara mengandung makna yang sangat berbeda dengan makna yang dikandung kata khalaqa, yakni menciptakan sesuatu dari nihil. Dalam bahasa lain, secara khusus Yang Mahasuci menampakkan (adzhara) dirinya sendiri melalui asmaNya dan juga menciptakan (khalaqa) segala sesuatu dari nihil, secara umum.

Kesimpulannya, menurut penulis, pernyataan Ibnu Arabi yang berbunyi “maka Mahasucilah Dzat yang menampakkan sesuatu dan Ia merupakan (sesuatu) itu sendiri” harus—bahkan wajib—kita pahami dengan makna “maka Mahasucilah orang yang menampakkan asmaNya dan Ia merupakan (asma) itu sendiri”.

Selanjutnya, mengenai pernyataan Ibnu Arabi yang berbunyi “Mataku tidak melihat kepada selain hadirat (wajh)-Nya”. Ibnu Arabi tidaklah memasukkan unsur-unsur pantheisme dalam pernyataan tersebut, karena beliau menggunakan kata al ain dan al wajh, bukannya al bashar dan al dzat. Di samping itu, bukankah dalam kitab al Fana (setelah mukadimah) beliau telah menyatakan bahwa hakikat Tuhan tidaklah bisa disaksikan dengan mata telanjang (al ain) yang seharusnya memang bisa menyaksikan sesuatu (benda konkret).

Jadi, pernyataan Ibnu Arabi tersebut tidaklah boleh diartikan bahwa mata telanjang Ibnu Arabi tidak mampu melihat selain (dzat) Allah. Akan tetapi, akan lebih baik dan tepat apabila kita memahaminya sebagai sebuah pengakuan dan ajaran yang beliau sampaikan agar mata kita tidak melihat selain wajah Allah, yakni niatku tidak tertuju kepada selain hadirat Allah.

Selanjutnya, kita bisa memahami pernyataan Ibnu Arabi yang berbunyi “dan telingaku tidak mendengar lawan sabda-Nya” dalam arti tersirat yang terkandung di dalamnya. Yakni, dan diriku tidak mengikuti ajaran ajaran yang bertentangan dengan sabda-Nya (al qur’an).

Menurut penulis, Ibnu Arabi merupakan seorang muslim sejati yang lurus. Dalam karya-karyanya, beliau memang sering kali berbicara tentang ittihad, yang sering mengakibatkan orang lain salah memahaminya.

Dalam kitab al Alif Ibnu Arabi telah mengingatkan kita agar berhati-hati ketika membahas persoalan ittihad. Beliau berkata, “…maka pahamilah al wahid dan al tauhid ini, dan berhati-hatilah dari ittihad dalam situasi ini karena ittihad adalah tidak sah, karena dua dzat tidak akan menjadi satu, keduanya adalah dua oknum yaitu sebuah oknum yang berada dalam dua posisi.” Edisi aslinya berbunyi: fa tafatthun li hadza al wahid wa al tauhid, wa (i)hdzar min al ittihad fi hadza al maudhu’ fa inna al ittihad la yashihh, fa inna al dzatain la takuna wahidah wa innama huma wahidani fahuwa al wahid fi martabatain.

Terakhir, Mahmud Mahmud al Gharrab dalam bukunya, al Syeikh al Akbar Muhyiddin Ibnu al Arabi Tarjamah Hayatih min Kalamih, mengatakan bahwa bagi sebagian kalangan penyebutan Ibnu Arabi untuk tokoh sufi Abu Abdullah al Hatimi—untuk membedakan beliau dari Ibnu al Arabi Abu Bakar al Qadhi al Isybili al Maliki—adalah sesuatu yang maklum, akan tetapi sebenarnya penyebutan itu sendiri adalah suatu penyebutan yang dibuat tanpa dasar yang kuat oleh mereka yang melakukannya. Penyebutan Ibnu Arabi untuk tokoh sufi Abu Abdullah al Hatimi adalah penyebutan yang kurang tepat, karena Abu Abdullah al Hatimi sendiri dalam magnum opus tasawufnya, Al Futuhat al Makkiyah telah menorehkan namanya dengan Muhammad bin al Arabi sebanyak lima kali.

Sekian, Wallahu A’lam.