MELACAK “COPY-PASTE” HUJJATUL ISLAM Dalam TAHAFUT AL-FALASIFAH

MELACAK “COPY-PASTE” HUJJATUL ISLAM

Dalam

TAHAFUT AL-FALASIFAH[1]

Oleh: Abdullah Muzakki

“ Syeikhunâ Abu Hamid Dakhala Fi Buthûn  al Falâsifah, Tsumma Arâda An Yakhruja Minhum Fa Mâ Qadara ” ((Abu Bakar bin al-Arabi))

1. Pengantar

Ilmu sains dan Filsafat dalam peradaban Islam mengalami masa keemasan pada abad ketiganya, yakni abad ketiga pasca digalakkannya penerjemahan buku-buku asing secara besar-besaran oleh para khalifah dinasti Abbasiyah. Seperti yang telah kita ketahui, pada abad ketiganya –atau satu abad menjelang lahirnya Hujjatul Islam al-Ghazali-, Ilmu sains dan Filsafat “menelorkan” tiga saintis agung, yakni al-Biruni (astronom, 351 / 961 – 440 / 1048), Ibnu al Haitsam (fisikawan, 354 / 965 – 430 / 1039) dan Ibnu Sina (dokter, 370 / 980 – 428 / 1026).

Akan tetapi, pada abad emasnya, kedua Ilmu tersebut –khususnya Ilmu Filsafat- selain banyak memberi banyak manfaat ternyata juga meninggalkan beberapa persoalan bagi umat Islam. Ilmu sains secara tidak langsung ternyata turut memicu sebagian umat Islam untuk mengkesampingkan kehidupan ukhrawi mereka. Terlebih lagi Ilmu Filsafat, meskipun mampu mendongkrak daya rasionalitas umat Islam melalui cabang mantiqnya, Ilmu tersebut dalam kenyataaannya telah mewariskan beberapa pemikiran yang dianggap berbahaya oleh sebagian umat Islam yang lainnya.

Selanjutnya, fenomena Ilmu Filsafat diatas –setidaknya menurut penulis- ternyata mampu mengundang salah seorang santri yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi untuk menyusun beberapa karya tulis mengenai Ilmu tersebut. Yakni, kitab Maqasid al-Falasifah dan kitab Tahafut al-Falasifah.

Sebelum meneruskan tulisannya mengenai Hujjatul Islam dan kitab Tahafut Falasifah-nya, terlebih dahulu penulis ingin mengingatkan para pembaca agar tidak lupa bahwa hujjatul islam merupakan salah seorang pemikir yang sangat mendukung pemanfaatan Ilmu mantiq dan Ilmu sains sebagai perangkat hujjah agama.

2. Biografi Singkat Hujatul Islam Imam al-Ghazali

Ketika pada abad pertama (hijriah) ada Umar bin Abdul Aziz , kemudian pada abad kedua ada Syafi’i, lalu abad ketiga ada al Asy’ari atau Ibnu Suraij, serta abad keempat ada al-Isfiraini atau al-Baqilani, maka pada abad kelima; Hujjatul Islam al-Ghazali.

Jika seseorang mendengar nama “Imam Ghazali” disebut-sebut dalam suatu forum pengajian, maka hampir bisa dipastikan bahwa akan muncul dibenaknya figur seorang ulama sufi Hujjatul Islam yang menyusun kitab Fikih bernuansa sufi yang berjudul Ihya’ Ulumiddin.

Akan tetapi, bila ditelisik lebih lanjut penyebutan “Imam Ghazali” sendiri sebenarnya merupakan sebuah penyebutan yang masih umum dan masih bisa disandangkan kepada para sufi ataupun ulama yang lainnya.

Penyebutan (penisbatan) “al-Ghazali” bukanlah hak khusus penyusun kitab Ihya’ Ulumiddin. Dalam sejarah Ilmu Islam, penyebutan “al-Ghazali” juga menjadi hak milik bagi ulama-ulama yang lain, seperti al-Ghazali al-Qadim, Abu al-Futtuh Ahmad bin Muhammad (kakak kandung al-Ghazali Hujjatul Islam w. 518-520 H), al-Ghazali al-Hafidz (w. 830 H), al-Ghazali al-Fasi (w. 1179 H), al-Ghazali al-Masri (w. 1169 H), al-Ghazali Ali bin Ahmad bin al-Hasan (ahli qira’at penulis kitab al-Waqaf wa al Ibtida’ fi al Tajwid), dll.

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali bernama asli Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thusi. Beliau memiliki nama kuniyah Abu Hamid serta beberapa gelar, diantaranya ialah Hujjatul Islam, Zainuddin dan al-Syafi’i al-Tsani. Dari berbagai kalangan, selain memperoleh nisbat al-ghazali yang diambil dari nama tanah kelahirannya (Ghazalah), beliau juga memperoleh nisbat al-Ghazzali yang diambil dari nama pekerjaan ayahnya; memintal (Ghazzal).

Pada tahun 450 H (1058 M)  Hujjatul Islam dilahirkan dari keluarga sederhana yang tinggal di kawasan Thus; kota kedua di Khurasan setelah Naisabur. Meskipun hidup dan besar dalam keluarga yang sederhana, akan tetapi sejak kecilnya beliau tidak pernah kurang peduli terhadap dunia keIlmuan. Bahkan sebaliknya, beliau rajin sekali menuntut Ilmu.

Hujjatul Islam pernah berkisah,

((kami menuntut Ilmu bukan karena Allah, adapun ayahku berharap agar hanya karena Allah))

Di kampung halamannya (Thus) Hujatul Islam belajar Ilmu Fikih kepada Abu Hamid Ahmad bin Muhammad al-Radzakani. Setelah itu beliau kemudian pergi ke Jurjan untuk belajar kepada Abu al-Qasim al-Ismaili, bukannya Abu al-Nashr al-Ismaili (w. 405 H) sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa sejarawan. Di Jurjan, beliau mempelajari Ilmu yang sama; Ilmu Fikih.

Setelah menyelesaikan studi dan berhasil mengumpulkan ajaran-ajaran Sang Guru dalam karya tulis pertamanya yang berjudul, “al Ta’liqah fi Furu’ al Madzhab”, Hujjatul Islam kemudian pulang kembali ke Thus pada tahun 470 H. Di sana beliau kemudian menetap selama tiga tahun, sambil mempelajari kembali Ilmu-Ilmu yang diperoleh dari gurunya Abu al-Qasim al-Ismaili.

Selanjutnya, bersama kakak dan kawan-kawannya Hujatul Islam meninggalkan Thus dan pergi ke Naisabur. Di sana, beliau belajar di madrasah al Nidzamiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh Dhiyauddin Abu al-Ma’ali Abdulmalik bin Abdullah bin Yusuf al-Juwaeini yang terkenal dengan sebutan “al-Imam al-haramain” karena pernah tinggal di Haramain (Makkah dan Madinah) selama empat tahun.

Di madrasah Nidzamiyah dengan bimbingan al-Juwaeini, Hujjatul Islam berhasil mendalami Ilmu Fikih dan Ilmu tasawuf yang sudah lama beliau pelajari sebelum datang ke Naisabur. Selain itu, beliau juga berhasil mempelajari dan menguasai berbagai disiplin Ilmu yang lain, seperti Ilmu kalam, Ilmu ushul Fikih, Ilmu Filsafat dan Ilmu mantiq.

Pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhirah tahun 505 H (1111 M), Hujjatul Islam meninggal dunia. Dalam beberapa tahun terakhirnya,  Hujjatul Islam agak sibuk mengurusi madrasah sufi-nya yang terletak di samping rumahnya yang terletak di kawasan Thus.

3. Jatidiri Hujatul Islam

Dalam dunia pemikiran Islam, Hujjatul islam merupakan orang kedua setelah Nabi Muhammad saw. Selain sebagai ulama yang paling berpengaruh dalam pemikiran Islam klasik dan kontemporer, beliau juga merupakan pemikir Islam yang karya-karyanya paling sering dikaji oleh para pengkaji kontemporer.

Hujjatul Islam merupakan seorang agamawan serta Filsuf Islam. Semasa hidupnya beliau sangat aktif mengabadikan pengetahuan-pengetahuannya yang mencakup berbagai disiplin Ilmu –seperti Ilmu kalam, Fikih, Usul Fikih, Tasawuf dan Mantiq- dalam karya-karya tulisnya.

Namun, di sisi lain –menurut penulis- Hujjatul Islam merupakan seorang agamawan yang tidak terlalu ahli mengenai Ilmu Hadits dan Tafsir. Disamping tidak meninggalkan karya tulis khusus tentang kedua disiplin Ilmu tersebut, Hujjatul Islam dalam kitab al Ihya’-nya ternyata juga banyak sekali menyebutkan hadits-hadits yang lemah (HaditsDhaif).

Selanjutnya, meskipun Hujjatul Islam menguasai Ilmu Filsafat, akan tetapi beliau juga bukanlah seorang ahli sains ataupun seorang Dokter (Tabib).

Ala kulli ma, jatidiri Hujjatul Islam –menurut penulis- adalah Mutakkalim Sufi yang menguasai Ilmu Filsafat.

Dalam mukadimah kitab Munqidz Min al Dhallal Hujjatul Islam berkisah,

((Dan akan kuceritakan kepadamu tentang kerja kerasku dalam mencari kebenaran yang ada diantara kacaunya golongan-golongan, beserta penjelasan mengenai jalan dan metodenya, dan tentang perjalanku naik dari jurang taklid menuju bukit penerangan, dan apa yang kuperoleh dari Ilmu kalam pada kali pertama ,dan pada kali kedua apa yang kupetik dari jalan ahli ta’lim yang membatasi pencapaian kebenaran melalui taklid kepada imam, dan pada kali ketiga apa yang kulecehkan dari jalan Filsafat, dan terakhir kali apa yang kuridhoi dari jalan tasawuf ))

4. Kitab Tahafutl al-Falasifah

Setelah kitab Maqasid al Falasifah, kitab Tahafut al Falasifah ditulis oleh Hujatul Islam ketika beliau masih nyantri di madrasah Nidzamiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh imam al Juwaeini. Bedasarkan keterangan para sejarawan, kitab tersebut ditulis oleh Hujatul Islam pada tahun 488 H.

Manuskrip kitab Tahafut al Falasifah karya Hujatul Islam tersimpan di berbagai perpustakaan dunia. Diantaranya;

  1. Perpustakaan Gothe; No. 1164
  2. Perpustakaan Nasional Paris; No. 6540, No. 6630
  3. Perpustakaan Vatikan; No. 291, No. 357
  4. Perpustakaan Petersburg; No. 305
  5. Perpustakaan Escoreal (Spanyol); No. 628
  6. Perpustakaan Wina; No. 1519
  7. Perpustakaan Jami’ Yeni (Istanbul); No. 735
  8. Perpustakaan Raghib Basya (Istanbul); No. 827
  9. Perpustakaan Nuri Utsmaniyah (Istanbul); No. 2663

10. Dar al-Kutub al-Misriyah;  No. 10 (Maktabah Qoulah, Hikmah Wa al-Falsafah)

Selain tersimpan di berbagai perpustakaan dunia dalam bentuk manuskrip, kitab Tahafut al-Falasifah karya Hujatul Islam juga telah dicetak beberapa kali. Diantaranya;

  1. Kairo; 1312 H, 1319 H, 1320 H, 1321 H dan 1955 M.
  2. Bombay; 1304 H.

Selain dikaji oleh tokoh-tokoh Orientalis, kitab Tahafut al-Falasifah karya Hujjatul Islam juga sudah sering diterjemahkan oleh para pengkaji turats-turats Islam. Kitab Tahafut al-Falasifah karya Hujjatul Islam telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya bahasa Latin, bahasa Ibrani dan bahasa Perancis.

Sebelum membahas sebagian kandungan kitab Tahafut al-Falasifah karya Hujjatul Islam, izinkanlah penulis untuk sekali lagi mengingatkan para pembaca agar tidak terburu-buru menisbatkan kitab Tahafut al-Falasifah kepada Hujjatul Islam. Sebab, sebagaimana yang telah maklum bagi kita, dalam sejarah turats Islam juga dikenal kitab berjudul Tahafut al-Falasifah yang lainnya. Yakni, Tahafut al-Falasifah karya Khawajah Zadah (Musthafa bin Yusuf al-Birmuni) yang wafat pada tahun 893 H / 1488 M.

5. “Copy-Paste” Hujatul Islam dalam Tahafut al-Falasifah

Pada pembukaan kitab al-Tahafut-nya, Hujjatul Islam menyatakan;

((selanjutnya, saya melihat ada segolongan orang yang mempercayai bahwa dalam diri mereka terdapat suatu keistimewaan –dari para sebaya dan para pemikir- yang disebabkan oleh kelebihan kecerdasan dan kepandaian mereka. Mereka mengingkari kewajiban beribadah dalam Islam, serta merendahkan syiar-syiar agama … mereka merupakan orang-orang yang kafir terhadap kehidupan akhirat. Dan tidak ada sandaran bagi kekafiran mereka kecuali taklid sama’i … dan tidak ada sandaran (bagi kekafiran mereka) kecuali hasil pemikiran yang dihasilkan dari keterjerambapan yang disebabkan komentar-komentar kabur …, seperti halnya dengan golongan-golongan ahli bid’ah pemikir persoalan akidah dan pemikiran.

Sesungguhnya asal kekafiran mereka adalah taklid mereka kepada nama-nama besar, seperti Sokrates, Hypocrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. …

Mengingat saya melihat pembuluh ketololan ini berdenyut pada orang-orang tolol tersebut, maka saya bersegera untuk menulis kitab ini sebagai sanggahan kepada para Filsuf terdahulu dengan menjelaskan kerancuan akidah dan ungkapan mereka yang berhubungan dengan teologi …))

Dari sedikit pemaparan Hujjatul Islam –dalam pembukaan al-Tahafut- di atas, setidaknya ada dua point penting yang bisa kita dapatkan. Pertama, asal kekafiran para pemikir ahli bid’ah adalah taklid kepada para Filsuf terdahulu. Kedua, dengan menjelaskan kerancuan akidah dan ungkapan para Filsuf terdahulu, Hujjatul Islam menulis kitab –al-Tahafut- sebagai sanggahan kepada mereka.

Bila kedua point di atas kita telisik, maka akan kita dapati sedikit kerancuan. Yakni, ketika menjelaskan kerancuan para Filsuf terdahulu, Hujjatul Islam ternyata juga menempuh jalan yang sama dengan jalan yang ditempuh oleh para pemikir ahli bid’ah; taklid (berdasar) kepada pemikiran para Filsuf terdahulu.

Selanjutnya, bisa muncul pertanyaan; apakah Hujjatul Islam juga kafir lantaran bertaklid kepada para Filsuf terdahulu?

Menurut penulis, , Hujjatul Islam, sebagaimana halnya dengan para pemikir lain, tidak bisa menjadi kafir lantaran bertaklid kepada para Filsuf terdahulu. Hanya saja, siapapun –termasuk Hujjatul Islam- bisa menjadi kafir lantaran memiliki akidah yang bertentangan dengan akidah-akidah agama (Islam), tak peduli darimanapun akidah tersebut diperoleh, termasuk dari pemikiran para Filsuf terdahulu tentunya.

Pada dasarnya, Hujjatul Islam hanya ingin menyatakan bahwa ada segolongan orang yang menjadi kafir, lantaran bertaklid kepada pemikiran para Filsuf terdahulu. Selain itu, dalam pembukaan tersebut beliau juga menyatakan bahwa –dalam kitab al Tahafut- dirinya ingin sekali menjelaskan kerancuan pemikiran para Filsuf terdahulu mengenai persoalan teologi.

Di sisi lain, sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, Hujjatul Islam menulis kitab Tahafut al Falasifah-nya ketika berada madrasah Nidzamiyah. Yakni, Hujjatul Islam menulis kitab tersebut ketika masih berada dalam asuhan salah satu tokoh mutakalimmin sunni (al-Asy’ariah); al Imam al Haramain.

Pertanyaan selanjutnya ialah mengapa ketika menyadarkan ketololan para pemikir ahli bid’ah hujatul islam –sebagaimana pengakuannya- lebih memilih untuk menampilkan kerancuan pemikiran teologi para Filsuf terdahulu, ketimbang memanfaatkan “amunisi-amunisi” kaum Mutakallimin ?

Dalam persoalan ini, kami memiliki dua pendapat;

  1. selain karena alasan kekafiran para pemikir bid’ah merujuk kepada pemikiran teologi para Filsuf terdahulu –sebagaimana pernyataannya-, Hujjatul Islam sepertinya juga memiliki alasan yang lain. Yakni, Hujatul Islam sepertinya menyadari bahwa hujjah-hujjah para Filsuf terkadang ternyata lebih kuat ketimbang hujjah-hujjah kaum Mutakallimin.
  2. Dalam kitab al-Tahafut-nya, selain menampilkan kerancuan pemikiran Teologi para Filsuf terdahulu, Hujjatul Islam juga banyak memanfaatkan hujjah-hujjah kaum Mutakallimin Sunni (al-Asy’ariyah).

Untuk pendapatnya yang kedua, penulis sepertinya tidak perlu lagi untuk menjelaskannya, sebab hujjah-hujah kaum Mutakallimin Sunni (al-Asy’ariah) secara jelas bertebaran dalam kitab Tahafut al-Falasifah karya Hujatul Islam tersebut.

Sedangkan untuk pendapat pertamanya, penulis berpendapat bahwa sangat mungkin –bahkan sudah sepatutnya- apabila ketika menyusun kitab al-Tahafut-nya, Hujatul Islam telah menelaah sebuah risalah (Maqalah) karya Abu al-Khair al-Hasan bin Suwar al-Baghdadi (w. Pasca 407 H) yang berjudul “Maqalah Fi Anna Dalil Yahya al-Nahwi ‘Ala Hadts al ‘Alam Aula Bi al Wabul Min Dalil al Mutakalimin Ashlan”.

Dus, di penghujung kitab Tahafut al-Falasifah, dengan berani Hujjatul Islam mengkafirkan orang-orang yang mempercayai tiga kepercayaan, meliputi kekadiman alam (Bab pertama), ketidaktahuan Sang Pencipta akan persoalan-persoalan juz’iyat (Bab ketigabelas) dan kemustahilan bangkitnya jasad manusia pada hari kebangkitan (Bab terakhir).

Yang menarik, pada ketiga Bab tersebut, Hujjatul Islam ternyata hanya menyebutkan dalil-dalil Qur’ani pada bab terakhir saja. Sedangkan pada dua bab lainnya, Hujjatul Islam tidak menyebutkan satupun dalil-dalil Qur’ani.

Dari sini, penulis kemudian ingin mengajak para pembaca untuk bersama-sama melacak sebagian sumber-sumber tulisan yang dimanfaatkan oleh Hujjatul Islam ketika menjelaskan kerancuan pemikiran teologi para Filsuf terdahulu dalam karya tulisnya yang berjudul Tahafut al-Falasifah. Dengan bahasa lain, penulis ingin mengajak para pembaca untuk bersama-sama melacak “copy-paste” Hujjatul Islam dalam kitab Tahafut al-Falasifah.

Hanya saja, karena banyaknya fasal pembahasan dalam kitab Tahafut al-Falasifah karya Hujjatul Islam tersebut, maka penulis hanya akan mengajak para pembaca untuk menelaah dua fasal pembahasan kitab tersebut, yaitu bab pertama dan bab ketigabelas.

Penulis sebenarnya juga ingin mengajak para pembaca untuk menelaah bab terakhir dari kitab tersebut. Akan tetapi, dengan terpaksa penulis harus menundanya, mengingat bab tersebut banyak memuat ayat-ayat al-Qur’an sehingga nuansa ilmu kalam-nya lebih kuat ketimbang nuansa ilmu Filsafat.

Sebelum menyampaikan pendapatnya tentang kedua bab tersebut –yakni bab pertama dan bab ketigabelas-, penulis –sekali lagi- ingin mengingatkan para pembaca bahwa dalam bukunya yang berjudul Madzahib Falasifah al Masyriq (Dar al Ma’arif, Kairo), Dr. Athif al-Iraqi –bisa dikatakan- telah menelaah ketiga bab kitab Tahafut al-Falasifah di atas –yakni bab I, bab XIII dan bab XX- dari sudut pandang pemikiran Islam (abad pertengahan). Karena dalam bukunya tersebut Dr. al-Iraqi telah menjelaskan pemikiran-pemikiran para Filsuf Islam –al-Kindi dan Ibnu Sina- dan mutakalimin Islam mengenai ketiga bab tersebut, maka dalam kesempatan ini penulis lebih memilih menelaah kedua bab kitab Tahafut al-Falasifah di atas –yakni bab I dan bab XIII- dari sudut pandang pemikiran praislam; pemikiran Kristen abad permulaan dan pemikiran Yunani pramasehi.

A.      Dalam Naungan Ilmu Filsafat dan Ilmu Kalam

Tak samar lagi, bahwa Ilmu kalam merupakan salah satu cabang Ilmu-Ilmu agama yang bersumber dari firman-firman Ilahi. Dalam peradaban Islam, Ilmu tersebut juga dikenal dengan beberapa istilah, seperti ilmu Tauhid dan Ilmu Akidah.

Sedangkan ilmu Filsafat, menurut penulis, pada dasarnya ia merupakan salah satu cabang Ilmu-Ilmu Aqliyah. Berbeda dengan ilmu Kalam yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang beragama (ahli kalam), ilmu Filsafat merupakan hak setiap makhluk berakal (manusia), sekalipun atheis.

Pada masa pramasehi –tepatnya, masa Yunani kuno-, ilmu Filsafat dikembangkan oleh para Filsuf (saintis) dengan merujuk kepada alam fisika. Selanjutnya, pada masa masehi, ilmu tersebut ternyata tidak hanya dikembangkan oleh para pengkaji alam fisika saja. Pada masa masehi –yakni abad permulaan dan abad pertengahan-, ilmu Filsafat juga dikembangkan oleh para pengkaji “Kalam” yang mendaulat “Kalam” sebagai salah satu rujukan (sumber) Filsafat. Dengan bahasa lain, pada masa masehi, ilmu Filsafat juga dikembangkan oleh para Filsuf dengan merujuk kepada alam metafisika, selain merujuk kepada alam fisika, tentunya.

Dus, Hujatul Islam dalam mukadimah kitab al-Tahafut-nya telah menyatakan bahwa asal kekafiran orang-orang yang merendahkan syiar-syiar agama dan kafir terhadap kehidupan akhirat ialah taklid kepada orang-orang seperti Sokrates, Hypocrates, Plato dan Aristoteles. Dengan bahasa lain, dalam mukadimah kitab al-Tahafut-nya, Hujatul Islam menyebut para Filsuf Yunani kuno (pramasehi) sebagai tempat taklid para pendusta agama.

Setelah itu, Hujatul Islam –dalam keterangan selanjutnya- menyatakan bahwa dirinya ingin sekali menjelaskan kerancuan pemikiran para Filsuf terdahulu mengenai persoalan teologi.

Pertanyaannya ialah, Filsuf terdahulu yang mana?, Filsuf Kristen abad permulaan ataukah Filsuf Yunani kuno?

Menurut penulis, Hujatul Islam tidak secara jelas mendefinisikan “para Filsuf terdahulu” tersebut. Hanya saja, Hujatul Islam sepertinya memberikan isyarat bahwa para Filsuf terdahulu adalah para teolog terdahulu; para Filsuf Kristen abad permulaan.

B.       Mutafalsif AL-Farabi dan Mutafalsif Ibnu Sina

Salah satu hal menarik yang bisa kita peroleh ketika membaca mukadimah kandungan kitab Tahafut-nya Hujatul Islam ialah penyandangan gelar al-Mutafalsif kepada Guru Kedua (al-Farabi) dan Guru Ketiga (Ibnu Sina). Penyandangan gelar al-Mutafalsif –sepertinya- diberikan oleh Hujatul Islam kepada Ilmuwan-Ilmuwan Islam pewaris Ilmu Filsafat kuno.

Pertanyaannya, apakah kedua mutafalsif tersebut –yakni al-Farabi dan Ibnu Sina- tidak dikategorikan (diposisikan) oleh hujatul islam sebagai “Falasifah”?

Menurut penulis, secara sekilas, dalam kitab Tahafut al-Falasifah karya Hujatul islam, kedua Mutafalsif tersebut sepertinya hanya diposisikan oleh Hujatul Islam sebagai seorang “Rawi Filsafat”.

Ala kulli hal, ketika menyebut-nyebut kedua “Rawi Filsafat” di atas dalam mukadimah  kandungan kitab al-Tahafut-nya, Hujatul Islam sepertinya hendak mengatakan kepada umat Islam bahwa para Filsuf (falasifah) yang “kafir” itu adalah al-Farabi dan Ibnu sina, bukannya al-Kindi. Untuk lebih memahami pendapat –penulis- ini, bisa dengan membaca “madzahib Falasifah al Masyriq” karya Dr. Athif al-Iraqi.

C. Kekadiman Alam

Sebagaimana yang telah disinggung oleh penulis, sangat patut –atau mungkin- apabila al-Tahafut al-Falasifah disusun oleh Hujatul Islam, pasca penelaahannya terhadap maqalah Abu al-Khair al-Hasan bin Suwar al-Baghdadi (w. Pasca 407 H). Oleh karena itu, akan sangat patut –dan mungkin- pula apabila al-Tahafut al-Falasifah –khususnya bab pertama tentang kekadiman alam- disusun oleh Hujatul Islam dengan merujuk kepada pemikiran Yahya al-Nahwi tentang ke-hadits-an alam.

Hanya saja, sayang sekali, penulis belum berhasil memperoleh naskah tulisan Yahya al-Nahwi tersebut. Penulis hanya mampu memperoleh naskah tulisan Proclus tentang kekadiman alam (terjemah Ishaq bin Hunein) yang diterbitkan oleh Dr. Abdurrahman Badawi dalam ‘al Aflathun al Muhadatsah Inda al Arab’.

Karya tulis Proclus memuat 18 dalil kadim-nya alam. Pada abad ketiga Hijriyah, karya tulis Proclus tersebut telah diterjemahkan oleh para penerjemah, diantaranya oleh putra penerjemah agung kristen; Ishaq bin Hunein bin Ishaq yang menerjemahkan 9 dalil dari 18 dalil Proclus atas kadim-nya alam.

Sedangkan karya tulis Yahya al-Nahwi yang berisi sanggahan atas 18 dalil Proclus, ia ditulis oleh empunya pada tahun 529 M. Karya tulis tersebut tidak diketemukan naskah berbahasa yunani-nya, kecuali sebuah naskah manuskrip yang tersimpan di perpustakaan Marcos (Venesia, Italia) dengan No. 236 Yunani.

Langsung saja, dalam kitab al-Tahafut-nya, Hujatul Islam meriwayatkan bahwa para Filsuf memiliki empat dalil untuk memperkuat pendapat mereka mengenai qadim-nya alam.

Mengenai dalil pertama kekadiman alam yang disampaikan oleh para Filsuf, Hujatul islam meriwayatkan,

(( pendapat mereka; munculnya hadits dari qadim mustahil secara mutlak, karena ketika kita menentukan keberadaan qadim, dan alam tidak muncul dari qadim, umpamanya, maka alam tidak akan muncul karena suatu wujud tidak memiliki murajjih (pentarjih). Bahkan wujudnya alam itu murni perkara yang mungkin. Ketika alam kemudian di-hadits-kan, maka adakalanya murajjih diperbaharui atau tidak diperbaharui. Jika murajjih tidak diperbaharui, maka alam tetap murni mungkin, seperti sebelumnya. Dan jika murajjih diperbaharui …, maka muncul persoalan dalam hadits-nya murajjih.

Pendeknya, ketika situasi qadim saling bertasyabbuh, maka suatu apapun darinya adakalanya tidak ada dan adakalanya ada secara terus menerus. Sedangkan jika situasi mengabaikan (penciptaan) dipisahkan dari situasi memulai (penciptaan), maka itu mustahil))

Sebagaimana periwayatan Hujatul Islam, menurut dalil pertama para Filsuf, alam bersifat kadim secara mutlak karena ia muncul dari qadim yang “bekerja” –hanya- secara kadim dan kekal.

Apabila kita telisik, pemaparan Hujatul Islam diatas –setidaknya- ternyata sangat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Proclus (kakek guru Yahya al Nahwi) ketika menyampaikan dalil ketiganya mengenai kekadiman alam.

Mengenai dalil ketiga ke-kadim-an alam, Proclus menyatakan,

(( jika hanyalah al Khaliq yang menjadi pencipta sesuatu, maka adakalanya secara potensial (bi al fi’li) Ia merupakan pencipta sesuatu secara abadi dan adakalanya secara substansional (bi al quwah), sehingga Ia hanya menciptakannya pada suatu ketika, bukannya secara abadi. Jika pencipta secara potensial merupakan pencipta (khaliq) secara abadi, maka ciptaan (makhluk) secara potensial juga ada sebagai ciptaan secara abadi ))

Ala kulli hal, dalil pertama, kedua dan ketiga para Filsuf mengenai kekadiman alam yang diriwayatkan oleh Hujatul Islam dalam al-Tahafut al-Falasifah ternyata sesuai dengan dalil ketiga, kelima dan kedua Proclus mengenai persoalan yang sama.

Sebelum meninggalkan pembahasan –tentang alam- ini, menurut penulis, hujatul islam juga memanfatkan logika kaum Filsuf (Mantiq Aristotelian) untuk melemahkan hujah-hujah kaum Filsuf tentang kekadiman alam.

Sebagaimana periwayatan Hujjatul Islam, dalam persoalan dalil kedua pengusung paham qadim al alam, para pengusung faham qadim al alam berpendapat bahwa apabila Tuhan -dipaksa- lebih dahulu ada daripada alam, maka itu hanya terjadi secara dzatiyah; bukannya secara zamaniyah. Selanjutnya, mereka menjelaskan bahwa apabila pendapat mereka tidak diterima, maka ini berarti kita berpendapat bahwa Tuhan –selain lebih dahulu secara dzatiyah- juga lebih dahulu ada secara zamaniyah, yang sama artinya dengan kita berpendapat bahwa Tuhan ada bersama zamannya sendiri; pada waktu alam –dan zamannya- belum ada.

Pemikiran kaum Filsuf di atas, kemudian ditanggapi oleh Hujjatul islam dengan menyatakan,

((ia (berlaku) jika dikatakan; zaman adalah hadits dan mahkluk, dan pada dasarnya sebelumnya tidak ada zaman. Dan makna perkataan kami; sesungguhnya Allah lebih dahulu dari pada alam dan zaman, sesungguhnya Dia yang Maha Suci ada dan alam tidak (ada), kemudian (Dia) ada dan alam (ada) bersama-Nya. Dan pemahaman perkataan kami; (Dia) ada dan alam tidak (ada), wujud-nya dzat al-Bari (Allah) dan adam-nya dzat alam saja. Dan pemahaman perkataan kami; (Dia) ada dan alam (ada) bersama-Nya, wujud-nya kedua dzat (allah dan alam) saja. Kemudian kami bermaksud dengan (istilah) taqaddum; ketunggalan wujud-Nya saja, dan alam sebagai sebuah oknum. Seandainya kami mengatakan; Allah ada dan isa tidak (ada), sebagai contoh, kemudian (Allah) ada dan Isa (ada) bersama-Nya, (maka) lafadz (tersebut) tidak memuat (pemahaman) kecuali wujud-nya dzat dan adam-nya dzat, kemudian wujud-nya kedua dzat saja. Dan (munculnya) oknum ketiga bukanlah (perkara) dharuriyah (dalam) penaksiran tersebut, meskipun khayalan tidak bisa diam dari penaksiran adanya oknum ketiga; yakni zaman. maka tak perlu ada minat kepada kesalahan kesalahan khayalan))

Tanggapan Hujatul Islam di atas, –selain sesuai dengan pendapat ahli nahwu- ternyata juga sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Guru Kedua (al-Farabi), ketika dalam Kitab al-Ibarah memberikan penjelasan mengenai jenis-jenis lafadz.

Guru Kedua (Al-farabi) menjelaskan,

((Dan disyaratkan dalam definisi kalimah (fi’il) agar menunjukkan zaman tidak secara aradhi (yakni, sebaliknya secara dzati), karena kebanyakan orang menganggap bahwa setiap isim juga menunjukkan zaman, karena segala sesuatu menurut mereka berada dalam zaman, seperti manusia dan hewan, untuk memisahkan sesuatu yang berada dalam zaman secara aradhi darinya (yakni; dari kalimah), Yakni sesuatu yang jika maknanya dipahami, maka –di dalam pikiran- zaman tidak bisa dipisahkan darinya secara dharuri, seperti manusia dan hewan. Dan ini meskipun semuanya berada dalam zaman, akan tetapi isim-isimnya tidaklah menunjukkan kepada zamannya secara dzatiyah, bahkan jikapun ada, maka –dan tidak bisa tidak- itu adalah secara aradhi. Dan kalimah bukanlah secara aradhi menunjukkan zaman, akan tetapi secara dzati dan secara dharuri. Kemudian (daripada itu) pada dasarnya zaman tidaklah terpisah dari kalimah))

D.      Hakikat Ilmu Tuhan (Hakikat Alam)

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hujatul Islam, dalam persoalan ketigabelas tentang hakikat Ilmu Tuhan, para Filsuf –setidaknya- terbelah menjadi dua kubu. Para Filsuf kubu pertama berpendapat bahwa pencipta (al-Awal) tidak mengetahui kecuali dirinya sendiri. Sedangkan para Filsuf kubu kedua yang didukung oleh Ibnu Sina, mereka berpendapat bahwa pencipta (al-Awal) mengetahui segala sesuatu secara kulli sekaligus non-zamani (azali).

Hanya saja, menurut penulis, dalam periwayatannya –terhadap pemikiran para Filsuf- kali ini, Hujatul Islam terkesan “tebangpilih”. Yakni, dalam persoalan ketigabelas, Hujatul Islam lebih memilih untuk meriwayatkan –dan selanjutnya menyanggah- pemikiran kubu kedua atau –tepatnya- pemikiran Ibnu Sina ketimbang pemikiran kubu pertama.

Ala kulli hal, dalam pembahasan mengenai hakikat Ilmu Tuhan (persoalan ketigabelas), dua penolakan disampaikan oleh Hujatul Islam.

Setelah panjang lebar meriwayatkan dan menjelaskan pemikiran para Filsuf kubu kedua (Ibnu Sina), untuk menyanggah pendapat para Filsuf kubu kedua yang menyatakan bahwa Ilmu Tuhan hanya bersifat kulli (bukan juz’i), dalam penolakan pertama, Hujatul Islam menyatakan,

(( jika ini benar, maka ikutilah jalan pafa Filsuf saudara-saudara kalian yang mengatakan, “sesungguhnya Dia tidak mengetahui selain diri-Nya. Dan sesungguhnya Ilmu-Nya terhadap dzat-Nya merupakan dzat-Nya”. Karena sesungguhnya jika Dia mengetahui manusia yang mutlak, hewan yang mutlak dan benda mati yang mutlak, dan ini berbeda-beda tidaklah mustahil, maka penggabungan-Nya terhadap semua itu berbeda-beda tidaklah mustahil. Selanjutnya, Ilmu yang tunggal (kulli) tidaklah cocok sebagai Ilmu terhadap perkara yang berbeda-beda, karena yang digabungkan berbeda-beda, penggabungan berbeda-beda, ….

Kemudian, sesungguhnya tipe-tipe, jenis-jenis dan aradhi-aradhi kuliyah ini tidak ada ujung baginya, dan ia berbeda-beda. Dan Ilmu-Ilmu yang berbeda-beda bagaimana bisa berada di bawah Ilmu yang tunggal (kulli)? …))

Intinya, Hujatul Islam berpendapat bahwa Ilmu yang hanya bersifat tunggal (kulli) tidak sesuai dengan ma’lum (obyek Ilmu) –yakni alam semesta- yang besifat berbeda-beda. Dalam bahasa lain, Hujatul Islam berpendapat bahwa (hakikat) alam semesta itu berbeda-beda, tidak tunggal.

Apabila kita telisik, pemikiran Hujatul Islam di atas ternyata mirip dengan pemikiran Aristoteles yang juga menyatakan bahwasanya (hakikat) alam semesta itu bukan seperti yang dipercayai oleh Malessus; tunggal tak bergerak. Pemikiran aristoteles juga menyatakan bahwa (hakikat) alam semesta –yang menjadi obyek Ilmu- itu tidak tunggal, alias berbeda-beda.

Dalam al-Shima’ al-Thabi’i, Aristoteles (Guru Pertama) menyatakan,

((Dan juga, tidak mungkin –al-maujud- itu tunggal dalam bentuk (shurah)-nya, kecuali dari arah arche, sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum fisikawan. Sedangkan dari arah lain, tidak boleh –al maujud itu tunggal- karena sesungguhnya manusia itu bukanlah kuda dalam bentuk (shurah)-nya, sesungguhnya kuda bukanlah manusia))

Kitab al-Shima’ al-Thabi’i telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada paruh kedua abad kedua Hijriyah. –yakni pada masa menteri al-Barmaki dan khalifah Harun al-Rasyid- oleh Abu Salamah al-Abrasy.

Dalam penolakan kedua, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hujatul Islam, untuk menjelaskan bahwa Tuhan mustahil memiliki Ilmu yang hadits, dua alasan dimunculkan oleh para Filsuf. Alasan pertama, jika Ilmu yang hadits datang dari tuhan sendiri, maka itu mustahil, karena tuhan tidak “memunculkan” sesuatu yang bersifat hadits. Alasan kedua, jika Ilmu yang hadits itu datang dari oknum lain, maka itu mustahil, karena kondisi-Nya tidak bisa berubah karena pengaruh oknum lain.

Selanjutnya, untuk menyanggah alasan pertama –bahwa Tuhan tidak memunculkan sesuatu yang hadits-, Hujatul Islam menyatakan,

((Sedangkan pernyataan kalian –sesungguhnya hadits yang menjadi awal al hawadits itu mustahil mucul dari al qadim- telah kami kandaskan dalam persoalan tersebut (qadim al alam). … Al nafs al falakiyah itu kadim, gerak periodik muncul (tahadatsa) darinya, setiap bagian dari bagian bagian gerak muncul (tahadatsa) dan berguguran … Jadi, persoalan persoalan hadits muncul dari kadim, ada pada kalian))

Dan untuk menyanggah alasan kedua –bahwa kondisi Tuhan tidak bisa berubah karena pengaruh oknum lain-, tiga hal disampaikan oleh Hujatul Islam. Pertama, perubahan merupakan perkara yang lazim (tidak mustahil). Kedua, keberadaan oknum lain sebagai penyebab perubahan bagi oknum yang lainnya –juga- merupakan perkara yang tidak mustahil. Ketiga, kelaziman dan kemutlakan pada “kinerja” Tuhan juga bisa dianggap sebagai sebuah paksaan terhadap Tuhan.

Mengenai penolakan kedua –dan kedua alasan- Hujatul Islam di atas, tidak banyak yang bisa penulis sampaikan, kecuali bahwa pemikiran para Filsuf dalam persoalan ketigabelas –tentang Ilmu Tuhan yang bersifat mutlak dan pasti- ternyata sangat dipengaruhi oleh pemikiran nisbi (relatif) mereka (para Filsuf) dalam persoalan pertama –tentang alam sebagai obyek Ilmu Tuhan.

Ala kulli hal, ketika memberikan ajaran keempatnya mengenai persoalan gerak yang menjadi pondasi Filsafat alam (Filsafat fisika), Guru Pertama (Aristoteles) telah menunjukkan ke-nisbi-an (Filsafat) alam. Guru Pertama menyatakan,

((Sesungguhnya segala sesuatu itu tidak mungkin kesemuanya bergerak secara abadi, atau kesemuanya diam secara abadi. Dan tidak mungkin juga sebagian dari segala sesuatu itu diam secara abadi dan sebagiannya (lagi) itu bergerak secara abadi. Dan pada aslinya, tidak ada satupun dari segala sesuatu itu diam pada suatu ketika dan bergerak pada suatu ketika (yang lainnya) ))

E.       Fenomena Takfir Hujatul Islam

Adalah takfir, persoalan paling penting dan sensitif yang senantiasa menyertai perjalanan umat beragama –termasuk umat Islam-, kapanpun dan dimanapun. Takfir merupakan bom waktu yang mengancam keselamatan umat beragama di dunia dan di akhirat. Dalam karya tulis Hujatul Islam yang berjudul Tahafut al-Falasifah, takfir –sekali lagi- muncul sebagai sebuah isu yang menjerat bagi sebagian kalangan, sekaligus sebagai pusaka ampuh bagi sebagian yang lain.

Pertanyaannya, apakah takfir Hujatul Islam dalam Tahafut al-Falasifah itu sudah sah?

Menurut penulis, takfir yang diberikan kepada para Filsuf yang mempercayai kekadiman alam (persoalan pertama), ketidaktahuan Tuhan akan perkara juz’iyat (persoalan ketigabelas) dan ketiadaan hari berbangkitnya jasad, merupakan takfir yang sudah benar dan sah, karena sesuai dengan Kalamullah.

Hanya saja, menurut hemat penulis, takfir Hujatul Islam di atas –dengan serta merta- tidaklah ditujukan kepada Guru Kedua dan Guru Ketiga, meskipun sepertinya begitu. Selain itu, takfir Hujatul Islam tersebut juga tak berfungsi jika ditujukan kepada para Filsuf praislam.

Pada masa kini, apakah takfir Hujatul Islam itu –juga- bisa difungsikan bagi orang-orang yang percaya kepada hukum kekekalan energi? Takfir memang bom waktu.

6. Penutup

Meskipun mengaku bahwa dirinya hanya meng”copy-paste” pemikiran para Filsuf dari riwayat al-Farabi dan Ibnu sina, dalam kitab Tahafut al-Falasifah, Hujatul Islam sepertinya juga meng”copy-paste” pemikiran para Filsuf secara langsung tanpa melalui riwayat keduanya. Hampir bisa dipastikan, ketika menyusun bab pertama –dari duapuluh bab- kitab Tahafut al-Falasifah, Hujatul Islam men”copy-paste” pemikiran Yahya al-Nahwi tentang hadits-nya alam.

Selain meng”copy-paste” buah pikir para Filsuf terdahulu, untuk menyanggah buah pikir para Filsuf terdahulu lainnya –khususnya Ibnu Sina-, Hujatul Islam juga menggunakan pola pikir yang sama dengan pola pikir yang mereka gunakan, yakni mantiq Aristotelian.

Sebagaimana ketika menyusun karya-karya Filsafatnya –yakni al-Maqashid dan al-Tahafut-, ketika menyusun Ihya’ Ulumiddin, Hujatul Islam juga memasukkan unsur-unsur Helenisme ke dalam  karya Fikih-sufistik terbesarnya itu.

Wallahu A’lam.

Bahan Bacaan Utama

  1. Abu al-Khair al-Hasan bin Suwar al-Baghdadi, Maqalah Fi Anna Dalil Yahya al-Nahwi ‘Ala Hadts al ‘Alam Aula Bi al Wabul Min Dalil al Mutakalimin Ashlan, diterbitkan oleh Dr. Abdurrahman Badawi dalam al-Aflathon al-Muhadtsah Inda al-Arab, Kuwait; wakalah al mathbu’at, cet. 2, 1977
  2. Aristoteles, al-Shima’ al-Thabi’i, terjemah Ishaq bin Hunain, ditahqiqkan oleh Dr. Abdurrahman Badawi, Kairo; al-Haiah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, Vol. I (1984), Vol. II (1985).
  3. Al-Farabi, al-Ibarah, ditahqiqkan oleh Dr. Muhammad Salim Salim, Kairo; al-Haiah al-Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1976.
  4. al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, dita’liqkan oleh Muhammad al-Said Muhammad, Kairo; al-Maktabah al-Taufiqiyah, t. t.
  5. al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an wa Duraruh, ditahqiqkan oleh Ridhwan Game’ Ridhwan  Kairo; Dar al-Haram li al-Turats, cet. I, 2004
  6. al-Ghazali, Munqidz Min al-Dhalal, termuat dalam Majmuah Rasail al-Imam al-Ghazali, Kairo; al-Maktabah al-Taufiqiyah, t.t.
  7. Proclus, Fi Qadm al-Alam, terjemah ishaq bin hunain, diterbitkan oleh Abdurrahman Badawi dalam al-Aflathon al-Muhadtsah Inda al-Arab, Kuwait; wakalah al mathbu’at, cet. 2, 1977.
  8. DLL.

[1] .  Makalah ini dipresentasikan dalam kegiatan diskusi Reguler IKAMARU RAM pada Hari Rabu, 2 April 2008 Jam 15.00 bertempat di kediaman rumah saudara Aniq Imam Syibaweh, Lc (Mahatta Nasr Kattamea)

Tinggalkan komentar